Kokohnya Penanaman Aqidah Sang Ibu (Sebuah Renungan)



Oleh : Nurul Jihad Ismail, S.Ag., M.Pd
bintunismail@gmail.com

Ibrahim AS kini tidak bisa lagi menyembunyikan rasa cinta dan sayang pada Hajar istrinya yang telah memberinya keturunan, setelah lebih dari 80  tahun berikhtiar menunggu kehadiran seorang anak ( As-Shafat 37-38) Ibrahim tak kunjung mendapat keturunan dari pernikahan pertamanya dengan Sarah.

Ya... Ismail AS, bayi mungil yang suci kini hadir menghiasi rumah tangga Ibrahim dan Hajar. Dapat dibayangkan sungguh bahagia suasana bathin mereka menyambut kehadiran Ismail. Bagi seorang mukmin yang taat seperti  Ibrahim, ini bukanlah puncak kebahagiaan, karena justru Allah swt telah mempersiapkan ujian berikutnya bagi keluarga mereka.

Allah swt dengan segala kehendakNya, memerintahkan hambanya Ibrahim untuk mengikuti seluruh skenario ujianNya  yang sangat nyata (As-Shafat 106), yang dititip melalui rasa cemburu Sarah kepada Hajar sebagai istri pertama Ibrahim, hingga Ibrahim harus menjauhkan Hajar dari hadapan Sarah sampai mereka (Hajar dan Bayinya) ditinggalkan di gurun pasir nan tandus tanpa penghuni.

Sungguh ironis cinta yang dimiliki Ibrahim untuk Hajar dan Ismail dibuktikan dengan perlakuan yang sangat tidak masuk akal, maka wajar ketika Hajar berteriak pilu penuh tanya memanggil-manggil suaminya Ibrahim yang tega melakukan hal ini padanya.  Hajar ingin mendapatkan jawaban yang pasti atas semua ini tapi tak kunjung ditemukan, Ibrahim tidak bergeming sedikitpun kepada jeritan Hajar bahkan menolehpun tidak.

Ibrahim sungguh tidak tega melakukan ini pada wanita sebaik Hajar tapi yang pasti Ibrahim lebih mencintai Allah dari istrinya, sampai akhirnya Hajar sendiri yang menemukan jawabannya dengan cara melontarkan satu pertanyaan kepada Ibrahim, yakni : “wahai Ibrahim apakah ini perintah Allah untuk mu...???”, dengan singkat Ibrahim menjawab, “benar..”, begitu tenang bathin Hajar setelah mendengar jawaban itu, karena ia sangat yakin bahwa pemilik skenario tidak mungkin menyianyiakannya karena dia adalah tokoh utama yang akan mengakhiri cerita ini dengan happy ending karena kepasrahan dan penyerahan dirinya  pada Allah SWT semata.

Sungguh tabah perempuan satu ini. Hajar seorang ibu yang kemudian akan menjalani hari-harinya di padang tandus, mendidik dan membesarkan putranya Ismail sendirian tanpa topangan dan perlindungan seorang suami. Inilah Hajar perempuan bertauhid yang telah lahir dari rahimnya seorang nabi bernama Ismail AS yang sampai saat saya menulis tulisan ini, berjuta-juta ummat manusia sedang berjuang sekuat tenaga, mengeluarkan sebanyak biaya dan memanjatkan ribuan untaian doa untuk dapat mengunjungi situs tempat di mana mereka (Hajar dan Ismail) pernah merintis kehidupan baru dan membangun sebuah peradaban besar dan seluruh orang beriman senantiasa rindu ingin mengitari arsitektur yang pernah mereka rancang, bangunan mulia nan agung yang tak pernah aus sekalipun setiap saat dielus-elus tangan manusia sejagat.

Hajar terus berjuang menjalani taqdirnya bersama bayinya Ismail hingga Ismail menjelang remaja. Waktu yang cukup panjang bagi sebuah kehidupan yang sulit nan sepi.
 Lalu apa yang terjadi pada ibu beranak ini selanjutnya...?? sepeninggal Ibrahim sang suami,..?

Pembaca sekalian....., tulisan ini bukanlah kisah putri gurun sahara, tapi penulis diliputi rasa ingin tahu yang mendalam dan ingin menggali lebih jauh bahwa... sejak 0 tahun sampai menjelang balig kira-kira 10 atau 11 tahun usia Ismail seorang ibu yang bernama Hajar telah mendampingi tumbuh kembang putranya Ismail selama 24 jam setiap harinya.

Materi pelajaran apa yang telah ia ajarkan pada anaknya, metode apa yang digunakan untuk mendidiknya, doktrin apa yang telah ia tanamkan pada diri Ismail hingga si remaja ini tumbuh menjadi pribadi yang agung mempesona, penuh kesabaran dan ketabahan menjalani setiap episode hidup hingga ia mau dan relah dikorbankan untuk disembelih oleh sang ayah saat ia mulai tumbuh remaja..?
(As-Shafat 102), walaupun sesunggunya Ibrahim mengalami hal yang sama ketika meninggalkan ibunda Ismail (Hajar) dengan hati yang berat dan pilu, tapi sekali lagi, Ibrahim lebih mencintai Allah SWT dari pada putra semata wayangnya itu.

Hajar ibunda Ismail benar-benar telah berperan sebagai seorang ibu yang dalam bahasa Arab disebut Al- Umm. Dalam Qurays Syihab : Secercah Cahaya Ilahi, Hidup Bersama Al-Quran, Al-Mizan, 2000, kata Al-Umm dan Al-Walida adalah dua kata yang memiliki arti yang sama yakni Ibu. Al-Umm bisa bermakna ibu kandung atau ibu yang bukan kandung, sedangkan Al-Walida bermakna khusus ibu kandung.

Berkaitan dengan pengertian Al-umm di atas Qurays Syihab menjelaskan dalam Lentera Hati terbitan Al-Mizan juga tahun 2000, bahwa, dari asal kata yang sama dengan Al-umm, terbentuk kata Imam yang berarti pemimpin dan juga kata Ummat yang berarti, yang dipimpin. Kesemuanya bermuara pada makna yang dituju atau diteladani. Lebih lanjut dijelaskan oleh Qurasy Syihab bahwa, ketika menjadi Imam, seseorang  harus bisa diteladani dan ketika menjadi ummat dia harus menjadi tujuan dan sasaran cita cita mulia seorang pemimpin.

Ibu yang memimpin harus bisa menjadi teladan bagi anak-anaknya, dengan perhatian dan keteladanan yang ditampilkan di depan anak-anaknya akan melahirkan imam-imam (pemimpin-pemimpin) ummat. Sebaliknya jika ibu tidak berperan sebagai pemimpin yang memberi teladan maka tidak mungkin lahir dalam dirinya pemimpin-pemimpin ummat.

Apa yang telah dilakukan Hajar dalam menjalani kepemimpinannya sebagai ibu hingga terwujud generasi emas semacam Ismail AS yang mungkin tidak akan pernah kita temukan lagi sepanjang sejarah manusia, pembentukan karakter yang sangat sulit dilakukan pada generasi millennia kita hari ini.  Mari kita analisa beberapa kisah tentang Hajar ibunda Ismail yang bisa menjadi pelajaran berharga dan sumber referensi bagi para ibu-ibu tangguh pemimpin keluarga.

Hajar memiliki kecerdasan intuitif yang sangat tajam manakala ia diminta oleh suaminya Ibrahim untuk berkemas menuju lembah tempat dimana ia akan ditinggalkan bersama bayinya Ismail. Hajar berfikir untuk membuat sabuk panjang yang akan dibiarkan terjuntai dari belakang saat berjalan dengan tujuan agar sabuk tersebut dapat menghapus jejak kakinya diatas padang pasir untuk tidak terlihat oleh Sarah istri pertama Ibrahim.

Hajar memiliki iman yang  kokoh, aqidahnya terhujam kuat dalam sanubari,  hal ini nampak pada dialog dengan suaminya Ibrahim ketika dia bertanya tentang keputusan Ibrahim meninggalkannya bersama Ismail di padang tandus tak berpenghuni, “wahai Ibrahim, mengapa engkau meninggalkan kami di tempat seperti ini, apakah ini perintah Allah..?” ketika mendapat jawaban “benar, ini perintah Allah”, seketika Hajar menjadi tenang dan damai,  dalam bathin ia berkata Allah tidak akan menyianyiakanku.

Hajar dibesarkan dilingkungan istana kerajaan Mesir yang cenderung mewah tanpa kekurangan, bahkan dalam beberapa kisah lain Hajar sendiri adalah putri seorang Raja mesir dan saudari seorang calon raja mesir, yang karena kekalahan dalam peperangan, maka Hajarpun tertawan dan menjadi budak raja Firaun yang karena kecantikannya ia hendak dijadikan selir oleh raja mesir, tapi akhirnya dihadiahkan kepada Sarah sebagai tebusan atas kesalahan raja tersebut pada Sarah istri pertama Ibrahim.

Dengan demikian Hajar terbiasa belajar, cerdas membaca situasi, beragam suasana silih berganti penuh dinamika yang dialaminya, membuat dia menjadi wanita pembelajar yang baik, menjadikan dia berpengalaman dalam banyak hal.

Hajar wanita cerdas berdiplomasi faham akan hak-hak hukum,  hal ini terlihat dalam dialognya dengan kabilah bani Jurhum yang meminta izin untuk berhenti mengambil air zam-zam, mereka bertanya pada Hajar, “apakah engkau mengijinkan kami berhenti di tempatmu..?, Hajar menjawab, saya ijinkan, tapi kalian tidak punya hak atas air ini.”  Maka persyaratan itupun diterima oleh kabilah tersebut. Ada ketegasan dalam pribadi Hajar dalam menghadapi siapapun yang membentengi kesendiriannya sebagai perempuan.

Hajar ibu pembangun peradaban, selama ia dan Ismail menempati kawasan itu, berdatangan kabilah-kabilah lain membuat perkampungan di tempat itu dan ia pun mengumpulkan anak-anak kabilah tersebut untuk diajarkan menghafal shuhuf Ibrahim hingga mereka tumbuh menjadi gerasi cerdas bertauhid bahkan Hajar dikenal sebagai wanita pengajar pertama yang menulis menggunakan pena di kota mekkah, menjadikan lembah yang tadinya enggan disinggahi manusia, kini menjadi tempat yang paling dituju ummat manusia di seluruh dunia.

Karena tangan terampil Hajarlah kemudian terbendung air suci nan mensucikan (Zam-Zam).  Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada ibunda Ismail, Hajar, jika ia tidak membendung air zam-zam niscaya zam-zam menjadi mata air yang mengalir.

Hajar sosok pemimpin perempuan ispiratif, produktif dan antisipatif, selalu berfikir positif,  tidak lemah dan tidak cepat menyerah sebagaimana sosok perempuan umumnya yang digambarkan oleh banyak orang. Hal ini terlihat dari perjuangannya yang tidak kenal menyerah mencari solusi atas kondisi anaknya Ismail yang kehausan, atas usaha kerasnya itu, Allah SWT menunjukkan kekuasaannya memancarkan air dari dalam tanah tempat Ismail dibaringkan.

Sungguh agung kisah ini...hingga tetap diabadikan oleh ummat Islam hingga akhir zaman.
Hajar bersuamikan Ibrahim sang khalilullah yang memiliki kekuatan doa-doa yang dipanjatkan untuk anak keturunannya, sehingga mereka tetap terlindungi jiwa raganya dan terpelihara aqidahnya,  (Ibrahim:37).

Sungguh sinergi yang sangat harmonis antara Ibrahim dan Hajar, kekuatan doa sang suami senantiasa menemani kesendiriannya dan menyertai perjuangannya (Ash-shafat 101 )
Pembaca sekalian..., Itulah sekilas pelajaran penting yang bisa dijadikan referensi bagi kaum ibu dalam mendidik putra putrinya, bahwa pembentukan karakter generasi kita menjadi harga mutlak di era ini.

Karakter tetap menempati urutan pertama dalam pendidikan anak sekalipun kurikulum pendidikan berganti setiap saat. Bahwa kesuksesan dalam mendidik butuh kolaborasi yang harmonis antara ayah dan ibu tidak musti dalam ukuran cost yang tinggi dan kuantitas interaksi, tetapi kualitas pertemuan serta doa orang tua yang sanggup menembus batas ruang dan waktu justru menjadi kunci utamanya.

Selamat hari raya iedul adha 1440 H, korbankan harta, waktu, pemikiran dan kesenanganmu demi generasi emasmu dan bersalawatlah senantiasa untuk Ibrahim dan keluarganya.

0 Comments

Silahkan Berkomentar, Bebas Tapi Sopan.