Adakan Kajian Akademis, Aliansi Rakyat Sumbawa Barat Bersatu Tegaskan Penolakan Revisi 'Perda Miras'


Lintas NTB, Sumbawa Barat –
Penolakan terhadap wacana revisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 2018 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) kembali menguat. Melalui forum kajian akademis yang digelar di Universitas Cordova, pada Sabtu, (17/5/2025), para akademisi dan elemen masyarakat sipil secara tegas menolak segala bentuk upaya yang membuka celah legalisasi alkohol, serta mendesak DPRD KSB untuk tetap berpihak pada nilai-nilai moral dan sosial masyarakat.

Kajian bertajuk "Second Opinion terhadap Hasil Kajian Legislative Review Perda Nomor 13 Tahun 2018" itu digelar di Sekretariat BEM Universitas Cordova. Forum ini diinisiasi oleh Aliansi Rakyat Sumbawa Barat Bersatu dan menghadirkan sejumlah narasumber penting, termasuk Akademisi Universitas Cordova dan Pusat Kajian Kebijakan Publik UNDOVA, serta melibatkan Forum Persatuan Umat Islam KSB.

Akademisi Universitas Cordova, Dr. Mujahid Imaduddin, S.HI., M.Ag, menyampaikan kritik tajam terhadap wacana revisi perda yang dinilai justru mengikis nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

“Perda seyogyanya adalah produk aspirasi, bukan sekadar administrasi. Ia harus lahir dari ruh nilai lokal, norma sosial, dan semangat kolektif masyarakat Sumbawa Barat yang menjunjung tinggi kehormatan keluarga, ketertiban sosial, serta larangan terhadap konsumsi alkohol secara luas,” ujarnya.

Menurutnya, membuka celah untuk legalisasi minuman beralkohol sama saja dengan mengkhianati suara rakyat dan mencederai marwah DPRD sebagai representasi nilai-nilai luhur masyarakat.

Lebih lanjut, Mujahid menegaskan bahwa, peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak semestinya mengorbankan moralitas publik. Ia menawarkan berbagai alternatif pembangunan ekonomi daerah yang tidak merusak tatanan sosial.

“Kami mendukung peningkatan PAD, tapi bukan lewat sektor yang merusak. Banyak alternatif yang bisa dikembangkan: wisata halal berbasis alam dan budaya, industri kreatif dan UMKM digital, pertanian, perikanan, serta produk lokal bernilai ekspor. Membangun daerah bukan berarti menjual prinsip,” tandasnya.

Sementara itu, Lalu Mustakim Patawari, S.TP., M.Si, Ketua Pusat Kajian Kebijakan Publik Universitas Cordova, menyoroti pentingnya perda sebagai instrumen hukum yang mencerminkan karakter dan nilai masyarakat setempat.

“Kalau masyarakatnya religius dan nilai adatnya kuat, maka perda harus menyatu dengan roh dan spirit masyarakat tersebut. Bukan justru memuat norma yang bertentangan,” tegasnya.

Ia menekankan bahwa dalam penyusunan perda, kepatuhan terhadap prosedur hukum juga sangat krusial. Menurutnya, jika terdapat indikasi ketidaksesuaian secara substantif maupun prosedural dalam upaya revisi, maka proses tersebut sebaiknya dihentikan dan dibuka ruang partisipasi publik yang lebih luas.

“Jika secara substansi bertentangan dengan nilai mayoritas masyarakat, dan secara prosedural ada dugaan tidak taat asas, maka apakah masih relevan untuk dilanjutkan? Tidakkah lebih baik dihentikan dahulu sambil memberi ruang sebesar-besarnya bagi publik dan elemen kritis untuk memberikan masukan,” mempertanyakan. (LNG05)

0 Comments

Silahkan Berkomentar, Bebas Tapi Sopan.