Ekonomi Indonesia Dinilai Tidak Diuntungkan dalam Perjanjian dengan Amerika, Aktivis Angkat Bicara


Edy Jablay (Aktivis Senior Kota Solo) 


Solo – Sejumlah pengamat menilai perjanjian ekonomi antara Indonesia dan Amerika Serikat saat ini belum memberikan keuntungan maksimal bagi Indonesia. Presiden Prabowo Subianto yang dikenal tangguh dalam bidang militer dinilai masih menghadapi tantangan besar dalam mengelola sektor ekonomi.


Menurut analisis, dominasi blok Barat—khususnya Amerika Serikat dan Eropa—terlihat cukup jauh dalam melakukan intervensi terhadap perekonomian Indonesia. Posisi Indonesia dianggap sulit karena masih dibayangi utang besar yang merupakan warisan dari pemerintahan sebelumnya.


Selain itu, sistem demokrasi yang diterapkan dinilai belum berjalan sesuai harapan. Kebebasan yang terlalu longgar justru dianggap memperbesar peluang praktik korupsi. “Jika melihat pengalaman saat pandemi COVID-19, negara-negara demokratis yang terbuka justru lebih terpukul secara ekonomi dibandingkan negara dengan sistem semi tertutup seperti Tiongkok, Korea Utara, dan Kuba,” ujar salah satu analis.


Di dalam negeri, intervensi Pemerintah Pusat terhadap beberapa daerah juga dinilai menimbulkan kerugian besar. Sebaliknya, daerah yang memiliki tingkat kemandirian lebih tinggi, seperti Aceh dengan status otonomi khususnya, disebut lebih tangguh menghadapi guncangan ekonomi saat pandemi.


Isu korupsi di tubuh pemerintahan dan wacana pembubaran DPR turut memunculkan sorotan publik terhadap lemahnya akuntabilitas dan birokrasi di Indonesia. Kritik muncul ketika DPR dianggap lebih memikirkan kenaikan gaji dan tunjangan di tengah kesulitan masyarakat mencari pekerjaan.


Meski begitu, pembubaran DPR dinilai tidak realistis karena lembaga tersebut merupakan salah satu pilar konstitusi negara. Wacana yang lebih memungkinkan, menurut sejumlah pihak, adalah penggantian anggota DPR dengan mekanisme khusus, misalnya melalui dekrit presiden seperti yang pernah dilakukan pada masa orde lama.


Sementara itu, aktivis Edy Tri Wiyanto (Aktivis Senior Kota Solo atau lebih akrab dikenal dengan Edy Jablay) menilai wacana revolusi sebaiknya tidak diarahkan pada penggulingan rezim, melainkan pada upaya memperkuat demokrasi presidensial yang benar-benar memberi kedaulatan penuh kepada rakyat.(*red) 

0 Comments

Silahkan Berkomentar, Bebas Tapi Sopan.