Selamatkan Sekotong dari Merkuri

 - Potensi-potensi yang dimiliki Sekotong seperti potensi pariwisata, tambang dan hutan disebutkan Bupati Lombok Barat H. Fauzan Khalid merupakan masa depan Lombok Barat. Dan tugas masyarakat setempat beserta pemerintah daerah adalah untuk menjaga dan memaksimalkan manfaatnya bagi masyarakat Lombok Barat, bahkan bisa memberikan sumbangsih terhadap kemajuan Provinsi NTB dan bagi kemajuan Indonesia.

Hal tersebut disampaikan bupati saat membuka Sosialisasi Program Penurunan dan Penghapusan Merkuri di Sektor Penambangan Sekala Kecil (PESK) bertempat di Hotel Aston In Mataram, Kamis (31/10).

Sosialisasi ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan dari projek Global Opportunities for Long-Term Development of Artisanal Small-Scale Gold Mining Sector - Integrated Sound Management of Mercury in Indonesia’s Artisanal and Small-Scale Gold Mining (GOLD-ISMIA) yang diluncurkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai bagian dari upaya Indonesia dalam mengurangi penggunaan merkuri pada PESK dan meningkatkan kondisi hidup para PESK.

Proyek ini merupakan pilot project yang akan berlangsung selama 5 tahun dan nantinya akan menjadi percontohan bagi proyek lain dengan tujuan untuk memperkuat pemerintah Indonesia dalam mengimplementasikan Konvensi Minamata, yakni pakta internasional yang didesain untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari emisi dan pelepasan antropogenik merkuri dan senyawa merkuri. Enam lokasi yaitu Kabupaten Lombok Barat, Halmahera Selatan, Gorontalo Utara, Minahasa Utara, Kulon Progo dan Kuantan Singingi dipilih karena memiliki lokasi pertambangan dengan aktivitas penambangan yang cukup massif.

Di Lombok Barat sendiri, khususnya wilayah Sekotong, keinginan dan kebutuhan masyarakat untuk menjadikan kegiatan pertambangan mineral logam (emas) sebagai usaha dan mata pencaharian yang dapat merubah kehidupannya ke arah yang lebih sejahtera membawa implikasi terhadap terus terjadinya praktek-praktek Pertambangan Tanpa Izin (PETI).

Dalam prosesnya, penambangan selalu identik dengan merkuri atau air raksa (Hg) yang masih saja ditemukan dalam proses pengolahan hasil tambang (emas).

Merkuri bersifat toksik untuk makhluk hidup tentunya sangat berbahaya, tidak hanya bagi manusia saja, hewan, tumbuhan, lingkungan pun akan sangat terdampak dengan adanya kandungan merkuri.

Dalam kegiatan ini bupati juga menghimbau masyarakat agar jangan sampai mengorbankan potensi lain seperti pariwisata yang dimiliki Sekotong hanya gara-gara tambang.

“Tambang ini manfaatnya sangat terbatas, tapi kemudian kita diancam oleh berbagai macam bahaya,” tutur bupati.

“Apa artinya uang satu miliar namun anak cucu kita terancam oleh bahaya merkuri, tetangga kita, itu kan artinya kita tidak punya masa depan?” sambungnya.

Di tempat yang sama, Direktur Pusat Badan Pangkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Dr. Rudi Nugroho memaparkan, jika pada tahun 2012 tercatat bahwa Indonesia merupakan penghasil emas terbesar ke-7 di dunia dengan penghasilan emas 60 ton/tahun. Sedangkan penambangan skala kecil bisa menghasilkan 60-130 ton/tahun.

"Di Sekotong sendiri tahun 2012 tercatat menghasilkan emas 400 kg dalam satu tahun dengan jumlah penambang 5000 orang, sehingga pertambangan emas skala kecil itu sangat bagus dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun jika dibiarkan terus menggunakan merkuri tentunya akan mencemari lingkungan dan mengancam generasi selanjutnya," jelasnya.

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Minamata melalui Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pengesahan Konvensi Minamata tentang Merkuri. Dilanjutkan dengan Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan penghapusan Merkuri yang merupakan salah satu langkah pemerintah untuk memberitahukan bahwa isu tentang merkuri wajib disadari dan dianggap serius oleh semua pihak.

“Namun jika harus dihapus begitu saja tanpa ada solusi, nanti kejadiannya bisa jadi tidak menyenangkan, jadi harus ada solusi,” tegas Rudi.

Penggunaan merkuri dalam proses pemurnian emas disebutkan Rudi salah satu solusinya bisa diganti dengan menggunakan bahan kimia sianida (jenis sianida tidak berbahaya) yang prosesnya disebut sianidasi. Proses sianidasi ini walaupun memakan waktu sedikit lebih lama dibanding menggunakan merkuri namun bisa memaksimalkan recovery emas yang diperoleh bisa mencapai 80 persen (40 persen jika menggunakan merkuri).

Kegiatan ini kemudian dilanjutkan dengan diskusi yang menyangkut empat hal seperti pembahasan bagaimana membedah peraturan-peraturan yang ada terkait dengan PESK bisa sesuai dengan kondisi lapangan, capacity building atau pengkajian teknologi ramah lingkungan yang akan digunakan, serta hal-hal yang terkait supporting financial atau modal. Dan yang terakhir adalah pembahasan tentang bagaimana meningkatkan kepedulian dari semua pihak serta proses monitoring dan evaluasi.

Diskusi sendiri menghadirkan narasumber-narasumber dari perwakilan Badan Pangkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Deputi Infrastruktur Pertambangan dan Energi, Kemerterian Koordinator Kemaritiman, perwakilan dari United Nation Development Programme (UNDP) Jakarta dan perwakilan dari GOLD-ISMIA sendiri.

Turut hadir dalam kegiatan itu, para perangkat Desa Buwun Mas, Desa Pelangan dan Desa Cendi Manik, serta penggiat usaha tambang rakyat yang bergerak dalam Penambangan Sekala Kecil (PESK).

Diskusi ini nantinya diharapkan Rudi bisa mencari titik bagaimana rasionalisasi pertambangan sekala kecil tetap bisa jalan namun lingkungan juga terjaga dengan baik.

0 Comments

Silahkan Berkomentar, Bebas Tapi Sopan.