Walhi NTB: Sejumlah Proyek Strategis Nasional di NTB Dinilai Belum Mendatangkan Berkah Bagi Masyarakat NTB




Lintas NTB, Mataram - Menurut Direktur Walhi NTB Amri Nuryadin mengatakan, sejumlah proyek strategis nasional di NTB, seperti di bidang pertambangan, pariwisata, pertanian dan kehutanan dinilai tidak mendatangkan berkah bagi masyarakat NTB dan tidak memberikan kontribusi yang segnifikan bagi rakyat justeru sebaliknya telah berdampak serius hingga terjadinya kerusakan ekologi baik Kawasan hutan maupun pesisir.


“Bahkan kenyataannya, masyarakat NTB masih hidup dalam kemiskinan dan termasuk dalam urutan delapan dari sepuluh daerah termiskin di Indonesia,” tukasnya, dalam release yang diterima media ini, pada Kamis 23 Juni 2022.


Melalui keterangan tertulisnya, Amri Nuryadin menegaskan, salah satu sektor memberikan kontribusi sangat besar terhadap laju kerusakan dan memiliki daya rusak luar biasa terhadap hutan di NTB adalah sektor ekstraktif yaitu pertambangan beserta infrastruktur pendukung yang di bangun dalam Kawasan Hutan konservasi dengan konsesi atau permit yang diperoleh dari pemerintah melalui Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan.


Bahkan jumlah Izin Usaha Pertambangan diNTB antara lain katagori IUP Eks sebanyak 39 dengan luas 36698,44 Hektare, sementara katagori IUP Op sebanyak 216 dengan luas 91613,14 Haktare.


“Ancaman perusakan lingkungan dikawasan hutan terutama disebabkan oleh operasi tambang dan alih fungsi lahan dalam skala besar, baik di wilayah hutan maupun pesisir,” ujarnya


Sejumlah pertambangan besar yang menguasai lahan dalam wilayah hutan dan pesisir yakni PT. Aman Mineral Nusa Tenggara, sebelumnya PT. NNT dengan luas 125.341,42 Hektar di Kabupaten Sumbawa Barat.


Sementara industri tambang yang sedang memulai eksplorasinya yaitu PT. STM memegang izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) di Hu’u Dompu dengan luas 19.260 hektar yang merupakan wilayah Kawasan hutan yang masuk dalam KPHL-Toffo Pajo.


Begitu pula dengan Proyek Smelter di Kabupaten Sumbawa Barat yang digadang akan dibangun oleh dua perusahaan besar, yaitu PT. CHina Nonferrous Meta Industry Foreign Engineering Construction Co., Ltd (NFI), dan PT. PIL Indonesia.


Selain pertambangan berizin, lanjut Amri, di NTB juga tercatat bahwa maraknya illegal mining atau tambang illegal diantaranya adalah di Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Sumbawa Barat dan Kabupaten Sumbawa juga menjadi penyebab kerusakan hutan dan ekologi yang juga menjadi penyebab terjadinya bencana banjir di banyak wilayah di NTB.


Masih kata dia, dari hasil investigasi Walhi NTB tahun 2020 tercatat bahwa luas Kawasan hutan di NTB seluas 1,07 Juta Hektar adapun lahan kritis dalam Kawasan Hutan di NTB telah mencapai 578.000 hektar. Sedangkan sisanya mengalami keterancaman atau potensial mengalami kritis.


“Artinya bahwa hampr 60 persen hutan di NTB sudah rusak parah dan perlu perhatian yang maksimal oleh pemerintah NTB,” tegasnya.


Proyeksi pembangunan dan investasi di NTB saat ini, kata Amri, sudah seharusnya memperhatikan beberapa regulasi yang menunjukkan “Lex Spesialis” atau kekhususan wilayah NTB sebagai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.


“NTB memiliki gugusan pulau besar dan kecil sebanyak 280 buah pulau dengan 44 pulau yang berpenghuni dan seluruh pulau tersebar di 10 wilayah, yakni Lombok Barat terdapat 38 buah pulau, Lombok Tengah 20 buah pulau, Lombok Timur 35 buah pulau, Sumbawa Barat 15 buah pulau, Sumbawa 62 buah pulau, Dompu 23 buah pulau dan Bima sebanyak 84 buah pulau,” katanya


Bahkan seluruh wilayahnya adalah berbatasan langsung dengan pesisir dan laut, sehingga dalam menempatkan dan melaksanakan pembangunan serta proyeksi investasi di NTB musti mempertimbangkan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan pulau-pulau kecil agar pembangunan ataupun investasi yang tengah dilakukan oleh pemerintah saat ini tidak sekedar pro investasi tapi juga pro rakyat serta menjaga ekologi.


“Terutama yang mesti dijaga adalah feasibility (kelayakan, red) dan certainty (kepastian, red) secara ekonomi serta propriety (kepatutan, red) secara sosial budaya, demikian pula keharusan dalam menjaga ekologi serta ecosystem yang asri,” cetusnya


Bukan menghadirkan pembangunan atau investasi yang mengancam atau bahkan memberikan dampak kerusakan ekologi dan ecosystem baik dikawasan hutan maupun di pesisir dan pulau- pulau kecil di NTB, terlebih lagi tidak memberikan dampak ekonomi dan kesejahteraan dan kemakmuran kepada rakyat sebagaimana dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945.


Kata dia, demokratisasi sumberdaya alam di NTB adalah hal penting dalam pengelolaan dan proses pembangunan di NTB. Keterlibatan penuh masyarakat dalam proses pembangunan harus tetap di jamin dan dilindungi dalam seluruh regulasi yang mengatur terkait pembangunan khususnya di NTB.


Hal ini berangkat dari fakta bahwa laju kerusakan hutan di NTB yang terbesar disebabkan oleh aktivitas pertambangan baik legal maupun illegal. Sementara pengawasan dan penindakan serta penegakan hukum terhadap hal tersebut hampir tidak terdengar.


“Aktivitas pertambangan baik skala kecil maupun skala besar tetap akan mengakibatkan daya rusak, sehingga perizinan tentu pengatur terhadap wilayah mana yang dapat dilakukan untuk aktivitas pertambangan dan tentu pula pengaturan siapa yang dapat diberikan izin dari aktifitas pertambangan. Mengingat pertambangan dalam bentuk dan skala apapun memiliki daya rusak, dan berdampak penting bagi lingkungan,” ujarnya


Karena itu, menurut Amri, perizinan pada sektor pertambangan seharusnya tidak hanya dipergunakan pemenuhan administrasi untuk penarikan retribusi, namun harus diletakkan sebagai upaya pembatasan dan kontrol dari daya rusak (tidak semua tempat, tidak semua orang).


“Perspektif izin sebagai retribusi dan administrasi semata mendorong adanya mekanisme keterlanjuran (upaya pemutihan pelanggaran) yang menjadi preseden buruk penegakan hukum pertambangan,” pungkasnya


Terkait hal tersebut, kunjungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari 20 hingga 24 Juni 2022 dalam rangka koordinasi dan supervisi dengan pemerintah daerah NTB terkait Minerba atau pertambangan.


Seharusnya KPK RI tidak sekedar melakukan kunjungan lapangan terhadap wilayah pertambangan di NTB, baik yang memiliki izin usaha pertambangan ataupun terhadap yang tidak berizin atau “Illegal Mining”.


Untuk itu, WALHI NTB mendorong KPK agar bersikap tegas dalam melakukan evaluasi terhadap proses perizinan pertambangan dalam Kawasan hutan dan wilayah pesisir di NTB dengan mempertimbangkan daya rusak atau penghancuran yang akan ditimbulkan oleh aktifitas usaha pertambangan.


“Karena izin usaha pertambangan memiliki sejumlah risiko yang dapat memicu adanya beragam praktek korupsi seperti penyalahgunaan kekuasaan hingga gratifikasi,” tegasnya


Sejumlah risiko itu, kata dia, antara lain karena lemahnya sistem audit dan pengawasan baik keuangan maupun pertambangan, tertutupnya akses data dan informasi di sektor pertambangan, buruknya penegakan hukum atas ketidakpatuhan tata kelola pertambangan, serta lemahnya koordinasi vertikal dan horizontal terkait pemberian IUP.


“KPK harus menyadari bahwa konsepsi teoritis izin adalah sesuatu pengecualian, yang memperbolehkan sesuatu atau suatu tindakan yang sebetulnya dilarang,” katanya


Sehingga izin termasuk sebagai ketetapan yang bersifat konstitutif, yakni ketetapan yang menimbulkan hak baru yang sebelumnya tidak dimiliki oleh seseorang yang namanya tercantum dalam ketetapan itu, atau ketetapan yang memperkenankan sesuatu yang sebelumnya tidak diperbolehkan.


Untuk itu pula, terhadap Aparat Penegak Hukum (APH) di NTB, agar KPK juga mendorong secara tegas penindakan dan penegakan konstitusi oleh APH terhadap illegal mining atau pertambangan tanpa izin terutama yang diduga kuat dilakukan oleh korporasi secara langsung maupun dangan modus bersembunyi dibalik individu. 

0 Comments

Silahkan Berkomentar, Bebas Tapi Sopan.