Pencegahan Kekerasan Pada Anak Dalam Keluarga

Oleh : Kalsum

Mahasiswa Pasca Sarjana Manajemen Inovasi UTS

Saat ini kekerasan terhadap anak tidak hanya terjadi di Kota besar, namun sudah menyebar ke desa-desa bahkan sudah ke pelosok, salah satu contoh kasus yang sempat menyita perhatian publik adalah kasus seorang anak yang berusia 12 tahun yang berinisial R warga BR Kabupaten Sumbawa Barat. 

Di duga menjadi korban penganiyaan, anaknya mengalami luka memar di pantatnya. Muncul dugaan pelaku penganiyaan adalah bapak kandungnya sendiri. Kasus penganiyaan tersebut terbongkar, ketika ada salah satu saudara bapaknya yang datang ke rumah korban di kebun dan disaksikan langsung oleh saudara perempuan bapaknya yang sedang memukul anaknya sendiri, ditanyalah sebab terjadinya pukulan tersebut adalah berawal dari nangisnya anak tersebut, bapaknya tidak mau mendengar suara tangisan anaknya, lalu bapaknya meminta kepada istrinya untuk menghentikan anaknya agar tidak nangis, tapi istrinya belum mau meninggalkan pekerjaan. 

Anak tersebut terus menerus menangis, akhirnya si bapak langsung marah terhadap istrinya dan langsung memukul istri dan anaknya, sehingga keduanya menjadi korban kekerasan dari suaminya. Dengan melihat kejadian seperti itu, keesokan harinya saudaranya melapor kepada aparat pemerintah setempa. Laporan itu dilanjutkan ke Kesbangpol. Kesbangpol melanjutkan ke Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak. dari Dinas P2KBP3A langsung menuju lokasi untuk melakukan investigasi kasus apakah benar atau tidak laporan tersebut. 

Dinas P2KBP3A langsung ke Polsek BR, lalu di sana bertemu dengan Kapolsek setempat dan aparat yang lain. Setelah mendapatkan informasi, makan tim investigasi mendatangi korban bersama aparat pemerintah Desa guna mendapat informasi yang sebenarnya dari korban. Berdasarkan informasi dari korban dan saksi kebetulan saksinnya anaknya sendiri memang sering dilakukan penganiyaan bahkan saksi juga mantan korban. 

Berdasarkan data yang penulis peroleh, dari DP2KBP3A khususnya bidang pemberdayaan dan perlindungan khusus menyatakan bahwa kekerasan pada anak meningkat di tahun ini. Hasil pemantauan DP2KBP3A dari 2020-2021 terjadi penurunan dari tahun 2020 (60 kasus) menjadi 39 kasus di tahun 2021. Hal ini disebabkan karena adanya UPTD PPA yang ada di Kabupaten Sumbawa Barat. 

Kepala bidang menyatakan bahwa, anak bisa menjadi korban ataupun pelaku kekerasan dengan lokasi kasus kekerasan pada anak yaitu dilingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Pelaku kekerasan pada anak justru lebih banyak berasal dari kalangan yang dekat dengan anak. Anak rentan menjadi korban kekerasan justru dilingkungan masyarakat yang mengenal cukup dekat dengan anak itu sendiri. Pada hakekatnya keluarga merupakan tempat pertama bagi anak untuk memperoleh pengetahuan, pembinaan mental, dan pembentukan kepribadian yang nantinya akan ditambah dan disempurnakan oleh lingkungan sekolah maupun lingkungan sosial di mana anak nantinya tumbuh dan berkembang. 

Terlihat sekali bagaimana pentingnya peran keluarga sangat signifikan dalam perkembangan, pembentukan karakter, serta masa depan anak. Bukan sebuah hal yang mustahil ketika sebuah keluarga khususnya orangtua yang merupakan orang yang pertama yang dapat melakukan pembentukan kepribadian anak, mampu memberikan dan menjalankan peran maupun tanggung jawab secara maksimal akan mampu menciptakan generasi penerus bangsa yang bertanggung jawab terhadap agama, nusa dan bangsa, sehingga apa yang selama ini dicita-citakan oleh semua anak bangsa akan dicapai.

Namun kenyataan, dimana seringkali berbanding terbalik dengan harapan ataupun yang dicita-citakan selama ini, salah satunya menjadi pusat perhatian dan menjadi bahan pembicaraan saat  ini adalah mengenai kekerasan pada anak. Kekerasan pada anak dapat kita temukan kapanpun dan dimanapun baik di Kota maupun di desa, di lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Hal ini menjadi miris yang ada dalam masyarakat, bagaimana tidak anak sebagai penerus bangsa berhak mendapatkan perlindungan pendidikan dan perlindungan yang baik dari keluarga, lingkungan masyarakat, justru mendapatkan perlakuan yang salah bahkan mengarah ke kekerasan fisik maupun mental dan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.

Konsep Keluarga

Hildred Geentz (1985) menjelaskan bahwa secara universe keluarga merupakan jembatan antara individu dan budaya nilai-nilai kemasyarakatan umum tertentu yang selalu memberikan keluasan serta makna bagi lembaga kekeluargaan oleh keluarga pula sebagai pelaku petunjuk normative tegang menegang. Maka dari itu diantara anggota keluarga merupakan miniatur suatu masyarakat, karena semua norma-norma maupun aturan  dalam kebiasaan lalu serba nilai-nilai dalam keluarga tersebut dapat diterapkan  dalam masyarakat secara umum.

Abdullah (1987) menjelaskan bahwa dalam kebudayaan masyarakat kaum mengenal ideologi familiatisme atau ideologi familiasme ini dilestarikan dan secara terus menerus diredefinisikan melalui hukum-hukum adat yang berlaku kepercayaan serta masyarakat. Keluarga diibaratkan sebagai bentuk mikro dari masyarakat, maka kedudukan laku-laki  dalam keluarga memberikan legimitasi bagi laki-laki untuk mendapatkan permestise dan kekuasaan dalam masyarakat.

Kedudukan Anak Dalam Keluarga

Dalam keluarga anak merupakan sosok yang istimewa dalam keluarga dan perlu mendapatkan perlakuan dan bimbingan khusus dari seluruh anggota keluarga tersebut. 

Hildred Geents (1985) menjelaskan bahwa dalam keluarga memandang hukum anak-anak adalah hal yang disenangi dan diinginkan karena anaklah yang dipandang akan mampu meneruskan juga mengurusi orang tuanya kelak ketika tua sehingga keinginan memiliki anak-anak sangat besar dalam masyarakat. Hubungan sosial seorang anak baik dengan anggota keluarga maupun dengan lingkungan juga menjadi perhatian bagi masyarakat untuk dapat tumbuh sebagai seorag yang baik. Anak-anak keseluruhan anak merupakan seorang yang penting dalam keluarga, Ketika orang tua berhasil mendidik anak dengan baik, maka masyarakat menganggap bahwa keluarga tersebut keluarga yang berhasil. 

Atapun sebaliknya, ketika orangtua tersebut gagal dalam mendidik anak, maka masyarakat menganggap bahwa keluarga tersebut keluarga yang gagal. Dari hal inilah maka orang tua melakukan segala upaya untuk mendidik anak mereka dengan baik karena seolah-olah ada tuntutan dari masyarakat untuk melakukan hal tersebut. Bahkan tak jarang pula orang tua melakukan kekerasan terhadap anak dengan alasan untuk mendidik supaya si anak dapat terlihat baik dalam masyarakat.

Kekerasan terhadap Anake Scara teoritis kekerasa terhadap anak dapat didefinisikan sebagai peristiwa perlakuan fisik, mental atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki tanggung jawab terhadap  kesejahteraan anak, yang mana itu suatu diindikasikan dengan kerugian. Jenis ini akan berpengaruh pada situasi perasaan yang tidak aman dan nyaman, minder, lemah dalam mengambil keputusan dan bahkan menurunkan harga diri serta martabat korban. Kekerasan seksual terhadap anak dalam kategori ini adalah segala tindakan yang muncul dalam bentuk paksaan untuk melakukan hubungan seksual.

Kekerasan ekonomi, kekerasan jenis ini sangat sering terjadi dilingkungan keluarga pada anak, kekerasan ini sering terjadi ketika orang tua memaksa anak yang masih usia dibawah umur untuk dapat memberikan kontribusi ekonomi keluarga. Seperti fenomena penjualan anak dan lain-lain kian merebak. Kekerasan anak secara sosial. Kekerasan anak jenis ini mencakup penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak.

Kekerasan terhadap anak dalam perspektif budaya sebagai gejala sosial budaya tindak kekerasan terhadap anak tidak muncul begitu saja dalam situasi yang kosong atau netral. Ada kondisi-kondisi budaya tertentu dalam masyarakat yakni budaya pandangan, nilai dan norma sosial yang seolah memudahkan terjadinya atau mendorong dilakukannya tindak kekerasan terhadap anak tersebut. 

Hal inilah yang dimaksud dilatar belakang budaya terjadinya kekerasan terhadap anak.

Teori Faktor Sosial

Entik parkerium berpendapat bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari apa yang dimakud faktor sosial. Menurut Dunehium faktor sosial merupakan cara bertindak, berfikir, berperasaan, yang berada di luar individ, dan mempunyai kekuatan memaksa yang mengendalikannya. (Sunarto, 2000 : 11). 

Pelanggaran Terrhadap Hak Anak Dalam Menentukan Pilihan Sekolah

Setiap orang tua pasti seletktif dan menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Namun saat ini masih banyak kita temui dalam masyarakat orang tua yang memaksa kehendak kepada anaknya untuk bersekolah sesuai dengan pilihan mereka, baik ke sekolah negeri, pondok pesantren ataupun sekolah-sekolah swasta yang menurut mereka memiliki kualitas terbaik. 

Anak dalam posisi yang paling berkepentingan untuk menetukan di mana dia akan sekolah.anak seringkali dijadikan sebagai objek dari gengsi bahkan ego orang tuanya agar terlihat memiliki tingkatan yang lebih tinggi dalam masyarakat, sementara sesuai atau tidaknya sekolah tersebut dengan minat kebutuhan, dan gaya bagi anak seringkali diabaikan oleh orang tua. Selain alasan gengsi dalam masyarakat, banyak alasan lain orang tua dalam memilih sekolah bagi anaknya. 

Misalnya karena alasan ekonomi, khawatir akan pengaruh buruk kekerasan, bahkan ada yang ikut-ikutan tren saja. Kita ambil contoh orang tua yang memilih memasukkan anaknya ke pondok pesantren, salah satu alasan mereka memilih memasukkan anaknya ke pondok pesantren dengan alasan khawatir dengan pergaulan di lingkungan tempat mereka tinggal. 

Akibat yang muncul pada anak yang dipaksa oleh orang tuanya untuk bersekolah sesuai pilihan orang tuanya adalah anak tidak mampu mengikuti pelajaran dengan baik, karena adanya rasa paksaan dari orang tua. Karena memiliki prestasi yang kurang baik di sekolah, maka anak menjadi sosok yang minder dan kurang percaya diri. Kebanyakan orang tua menganggap bahwa pendidikan yang keras merupakan hal yang wajar. Keras tidak apa-apa asal mendidik. (LNG05)

0 Comments

Silahkan Berkomentar, Bebas Tapi Sopan.