Pasca Pemilu 2024, kita masih menyaksikan pemandangan yang sama: pembagian sembako secara masif oleh eksekutif dan legislatif. Paket-paket itu isinya macam-macam—dari beras, gula pasir, tepung terigu, kain sarung, sampai sajadah sholat. Semua dikemas rapi, dibagikan dengan penuh seremoni, kadang diiringi kamera dokumentasi dan spanduk bertuliskan nama si pemberi.
Pertanyaannya, apakah ini bagian dari program pemerintah untuk mengintervensi laju inflasi? Apakah ini sekadar gratifikasi sosial? Ataukah ini strategi investasi politik untuk 2030?
Intervensi Inflasi?
Memang betul, menjelang hari besar seperti Idul Fitri, harga kebutuhan pokok cenderung naik. Pemerintah, dalam hal ini, berkewajiban mengendalikan harga dan menjaga daya beli masyarakat. Tapi, apakah pembagian sembako itu murni strategi intervensi pasar?
Kalau iya, seharusnya dilakukan oleh instansi teknis seperti Dinas Perdagangan atau Bulog, dan bersifat adil untuk seluruh masyarakat, bukan terbatas pada kelompok tertentu atau simpatisan politik. Faktanya, pembagian sembako ini kerap dikaitkan langsung dengan sosok pejabat tertentu, yang seakan-akan menunjukkan kepedulian pribadi mereka, padahal sumbernya jelas dari uang rakyat.
Jika penanganan inflasi dibungkus dengan agenda personal dan politik, di mana sisi netralitasnya? Ini bukan lagi intervensi inflasi, tapi intervensi elektabilitas.
Gratifikasi Sosial?
Dalam perspektif hukum, gratifikasi adalah pemberian yang bisa dianggap suap jika berkaitan dengan jabatan dan berpotensi memengaruhi keputusan atau kebijakan. Apakah pembagian sembako ini termasuk gratifikasi?
Kalau diberikan kepada masyarakat tanpa motif politik, itu sedekah. Tapi kalau dibarengi dengan syarat tersirat—misalnya, dukungan politik di masa depan atau iming-iming proyek—maka itu sudah masuk ranah gratifikasi sosial. Apalagi jika dilakukan oleh pejabat publik yang sedang atau akan berkontestasi, bisa jadi alat transaksional yang merusak integritas demokrasi.
Gratifikasi sosial seperti ini menjadi budaya buruk, membuat masyarakat terbiasa menukar hak suara mereka dengan paket sembako yang habis dalam sepekan.
Investasi Politik 2030?
Yang paling masuk akal, menurut saya, pembagian sembako, kain sarung, dan sajadah ini adalah bentuk investasi politik jangka panjang. Mereka yang sekarang aktif "berbagi", sadar bahwa 2029 atau 2030 akan ada hajatan politik besar, entah pilkada, pileg, ataupun pilpres. Momentum-momentum ini dipersiapkan sejak sekarang.
Paket lebaran bukan hanya soal berbagi rezeki, tapi branding personal. Mengingatkan masyarakat siapa yang "pernah memberi". Membentuk kesan di benak rakyat bahwa mereka pantas dipilih lagi nanti. Dengan kata lain, ini adalah deposito elektabilitas, yang berharap bisa dicairkan di bilik suara lima tahun mendatang.
Sayangnya, praktik seperti ini seringkali melupakan hakikat kepemimpinan: mengabdi kepada rakyat secara konsisten, bukan sekadar tampil penuh kebaikan saat musim tanam suara tiba.
Riya’ Berbalut Amal Sosial
Fenomena ini adalah bentuk riya' politik yang nyata. Amal sosial dibungkus dengan motif politik. Mereka berharap citra baik yang dibangun dari bantuan itu akan mengangkat nama di masa depan. Amal seperti ini kosong dari keikhlasan, dan justru bisa menjadi bumerang, baik secara moral maupun di hadapan Tuhan.
Kalau niat berbagi karena Allah, mengapa harus dipublikasikan? Mengapa perlu ada simbol-simbol politik di setiap karung beras atau di ujung sajadah yang dibagikan? Bukankah lebih mulia memberi tanpa diketahui?
Kesimpulan
Pembagian sembako oleh eksekutif dan legislatif hari ini lebih condong menjadi investasi politik 2030. Ia bukan solusi jangka panjang atas inflasi, dan rentan masuk kategori gratifikasi sosial yang menggerus integritas demokrasi.
Sudah saatnya kita sebagai masyarakat Lombok Timur lebih kritis. Bantuan yang benar-benar tulus tidak perlu diumumkan. Mari bedakan mana pemimpin yang melayani karena tanggung jawab, dan mana yang bekerja karena ingin mencalonkan lagi.
Oleh: Wawan Jaya Purnama
Ketua Umum HMI MPO Lombok Timur
0 Comments
Silahkan Berkomentar, Bebas Tapi Sopan.