![]() |
Papan Nama RSUD dr. Soedjono Selong |
Lombok Timur — Sebuah surat terbuka yang ditulis oleh Dr. Muhamad Ali, M.Si., mengguncang jagat media sosial lokal dan menjadi perbincangan hangat warga Lombok Timur. Dalam surat tersebut, Dr. Ali mengungkap pengalaman traumatis ketika mendampingi anaknya berobat ke RSUD R. Soedjono Selong—rumah sakit milik pemerintah daerah yang seharusnya menjadi benteng terakhir pelayanan kesehatan masyarakat.
Yang membuat hati miris bukan sekadar hasil laboratorium anaknya yang menunjukkan reaktivitas Hepatitis B, tapi sikap dokter spesialis penyakit dalam yang menangani mereka, yakni dr. "K", Sp.PD. Menurut kesaksian yang dituliskan secara gamblang dalam surat itu, permintaan sederhana untuk penjelasan medis justru disambut dengan kalimat keras: “Tidak ada dan tidak bisa diobati.” Tak berhenti di situ, sang dokter bahkan diduga membentak, memarahi, hingga berdiri dengan gestur mengancam secara fisik.
Pengalaman itu tidak hanya mencederai rasa kemanusiaan seorang ayah, tapi juga menguak persoalan yang lebih dalam: ada yang sangat salah dalam sistem pelayanan kesehatan publik kita.
Lebih dari Sekadar Kasus Personal
“Kalau saya yang memahami hak-hak saya sebagai pasien saja bisa dibuat tak berdaya, bagaimana dengan warga desa yang tak tahu harus mengadu ke mana?” tulis Dr. Ali dalam surat tersebut. Ia menekankan bahwa peristiwa ini bukan hanya insiden etika pribadi seorang dokter, tapi refleksi dari sistem yang gagal: lemahnya pengawasan, buruknya evaluasi internal, dan tidak adanya mekanisme akuntabilitas yang jelas dalam institusi publik seperti rumah sakit pemerintah.
Yang lebih ironis, informasi dari sejumlah tenaga medis menyebut bahwa perilaku kasar dokter tersebut sudah bukan hal baru. Bahkan, disebutkan bahwa sang dokter dikenal memiliki dua wajah: kasar dan tidak komunikatif di rumah sakit milik rakyat, namun ramah dan lembut di klinik pribadi atau rumah sakit swasta tempat ia menjadi pemilik.
Pertanyaan pun mencuat: Apakah etika profesional hanya berlaku untuk rumah sakit berbayar? Apakah pasien rumah sakit pemerintah bukan manusia yang layak dihormati?
Institusi yang Kehilangan Nurani
Kasus ini menimbulkan pertanyaan besar soal kualitas SDM dan kepemimpinan dalam institusi kesehatan milik daerah. Ke mana manajemen rumah sakit saat kejadian seperti ini berulang? Mengapa tidak ada sanksi atau pembinaan? Bagaimana mungkin seorang dokter yang dikenal luas bersikap kasar tetap diberi ruang tanpa evaluasi serius?
Dalam konteks ini, pelayanan publik seolah kehilangan jiwanya. Rumah sakit menjadi birokrasi dingin yang mengabaikan aspek terpenting dalam kesehatan: empati dan kemanusiaan.
Desakan Perbaikan Sistemik
Melalui surat terbukanya, Dr. Ali menyerukan agar Bupati Lombok Timur dan Direktur RSUD R. Soedjono tidak tinggal diam. Ia mendesak agar dilakukan reformasi pelayanan publik yang menyentuh akar masalah: pembinaan karakter tenaga medis, penguatan pengawasan internal, serta mekanisme pengaduan yang cepat dan transparan.
“Saya tidak ingin pengalaman ini hanya jadi catatan keluhan, tapi menjadi pemantik perubahan,” tutupnya.
Saatnya Bangkit
Kasus ini mengingatkan kita bahwa pelayanan kesehatan bukan sekadar urusan teknis, tapi soal kepercayaan publik. Jika dibiarkan, kasus seperti ini akan menumbuhkan trauma, memperdalam ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi negara, dan yang paling berbahaya—memaksa warga mencari solusi alternatif yang tidak aman.
Kini bola ada di tangan pemerintah daerah dan manajemen rumah sakit: akan terus membiarkan wajah pelayanan publik rusak oleh oknum, atau berani bertindak demi martabat dan hak warga?. *Red
0 Comments
Silahkan Berkomentar, Bebas Tapi Sopan.